Tak Peduli Pendapat Rakyatnya, Israel Tetap Loloskan UU Reformasi Peradilan

3 min read

Israel telah mengesahkan UU Reformasi Peradilan yang kontroversial, yang membatasi kewenangan Mahkamah Agung dalam meninjau keputusan pemerintah. UU ini bahkan telah memicu protes besar-besaran di seluruh negeri.

Saat ini banyak Pihak menuduh pemerintah sayap kanan dan religius mengancam demokrasi dan negara hukum. UU Reformasi Peradilan ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan sekutu Barat Israel, yang menganggapnya sebagai langkah otoriter yang dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan.

Latar Belakang UU Reformasi Peradilan

UU Reformasi Peradilan
UU Reformasi Peradilan

Israel tidak memiliki konstitusi tertulis, sehingga hubungan antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif diatur oleh undang-undang organik. Secara tradisional, Mahkamah Agung Israel memiliki peran yang kuat dalam menjaga supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta dalam menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan parlemen.

Mahkamah Agung juga dapat membatalkan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara. Namun, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang didukung oleh partai-partai nasionalis dan agama, telah lama mengkritik Mahkamah Agung sebagai lembaga yang terlalu liberal, aktivis, dan intervensionis.

Mereka berpendapat bahwa Mahkamah Agung telah melebihi wewenangnya dan mengabaikan kehendak rakyat yang diwakili oleh parlemen. Mereka juga menuduh Mahkamah Agung menghalangi agenda politik mereka, terutama terkait dengan isu-isu seperti pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki, hak-hak minoritas Arab, dan status hukum Netanyahu yang sedang diadili atas tuduhan korupsi.

Isi UU Reformasi Peradilan

UU Reformasi Peradilan yang disahkan pada 24 Juli 2023 merupakan bagian dari paket reformasi yang diajukan oleh Menteri Kehakiman Yariv Levin, seorang sekutu dekat Netanyahu. UU ini mengubah klausul kecukupan, yang merupakan dasar bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan pemerintah yang dianggap tidak rasional atau tidak proporsional.

Dengan UU baru ini, Mahkamah Agung hanya dapat membatalkan keputusan pemerintah jika mereka melanggar undang-undang organik atau prinsip-prinsip dasar negara secara jelas dan tegas.

UU ini juga memberikan parlemen kemampuan untuk menentang pembatalan undang-undang oleh Mahkamah Agung dengan mayoritas sederhana (61 dari 120 anggota), bukan mayoritas kualifikasi (70 anggota) seperti sebelumnya. Selain itu, UU ini memberikan parlemen hak untuk meninjau kembali undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam waktu lima tahun.

Pemerintah dan pendukungnya berpendapat bahwa UU ini akan memperkuat demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta mengembalikan keseimbangan antara cabang-cabang pemerintahan. Mereka juga mengklaim bahwa UU ini akan meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sistem peradilan.

Reaksi dan Dampak

UU Reformasi Peradilan telah menuai protes luas dari berbagai kelompok masyarakat sipil, akademisi, pengacara, hakim, aktivis hak asasi manusia, partai oposisi, dan media. Mereka mengecam UU ini sebagai upaya untuk melemahkan peran pengawas Mahkamah Agung dan untuk melindungi Netanyahu dari penuntutan hukum.

Mereka juga memperingatkan bahwa UU ini akan membuka jalan bagi pemerintah untuk meloloskan undang-undang yang merugikan hak-hak warga negara, terutama minoritas dan kelompok rentan.

Sejak Januari 2023, ratusan ribu orang telah turun ke jalan di berbagai kota Israel untuk menentang UU ini dan menuntut pengunduran diri Netanyahu. Protes ini telah berlangsung hingga malam hari setelah pengesahan UU dengan bentrokan antara demonstran dan polisi yang menggunakan meriam air, gas air mata, dan granat kejut.

Beberapa insiden kekerasan juga terjadi, termasuk penabrakan mobil terhadap sekelompok pengunjuk rasa di Israel tengah, yang melukai tiga orang. UU Reformasi Peradilan juga telah menarik perhatian internasional, dengan beberapa negara dan organisasi mengekspresikan keprihatinan mereka atas dampaknya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di Israel.

Dari yang dilansir oleh C-ES News, Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis dan juga PBB adalah beberapa pihak yang telah mengeluarkan pernyataan yang mengkritik atau mempertanyakan UU ini. Mereka juga mendesak Israel untuk menghormati peran Mahkamah Agung sebagai penjaga supremasi hukum dan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan yang sehat.

You May Also Like

More From Author