Pengusaha tambang minta Sri Mulyani kaji ulang aturan pajak ekspor. Pelaku usaha di bidang pertambangan mengeluhkan kebijakan baru Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait penetapan tarif bea keluar atas produk mineral logam olahan.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 tentang Pengaturan Barang Ekspor Yang Dikenakan Pajak Ekspor dan Tarif Ekspor.
Plt Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Djoko Widajatno mengatakan, pihaknya telah mengajukan permohonan untuk mengubah PMK 71/2023. Sementara itu, pemerintah tidak konsisten dalam pengaturan bea keluar.
“IMA telah mengajukan kajian PMK No 71 tahun 2023, karena pemerintah mengubah hak ekspor, investor mengharapkan konsistensi regulasi dan kepastian usaha,” kata Djoko kepada CNBC Indonesia, Selasa 8 Agustus 2023.
Djoko juga meminta Sri Mulyani khususnya pemerintah tidak membebani pelaku usaha di sektor pertambangan. Selain itu, para pengusaha belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
“IMA berusaha memohon agar para pengusaha tidak terbebani, terkait pemulihan yang baru dirasakan, ada beban baru,” imbuhnya.
Seperti diketahui, peraturan ini berlaku bagi beberapa perusahaan yang baru saja melonggarkan izin ekspor mineral mentah. Salah satunya adalah PT Freeport Indonesia (PTFI), yang saat ini sedang menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) tembaga yang diusulkan.
Dengan kesepakatan tersebut, tarif bea keluar konsentrat tembaga PTFI berdasarkan kemajuan fisik pembangunan smelter minimal 50%. Ketentuan mengenai tonggak kemajuan material pembangunan pabrik metalurgi di KMP No. 71 Tahun 2023 adalah sebagai berikut:
– Tahap I, dalam hal progres pelaksanaan raw part mencapai kurang dari 50% sampai dengan kurang dari 70% dari total volume pekerjaan, maka perusahaan akan dikenakan pajak ekspor sebesar 10% mulai tanggal 17 Juli sampai dengan 17 Juli. 31 Januari 2023 dan meningkat menjadi 15% dari 1 Januari hingga 31 Mei 2024.
– Tahap II, dalam hal progres pembangunan infrastruktur kurang dari 70% sampai dengan kurang dari 90% dari total volume konstruksi, dikenakan pajak ekspor sebesar 7,5% mulai tanggal 17 Juli sampai dengan 31 Desember 2023 dan dinaikkan menjadi 10% antara 1 Januari dan 31 Mei 2024.
– Tahap III, dalam hal tingkat pembangunan fisik mencapai lebih dari 90% sampai dengan 100%, perusahaan akan dikenakan pajak ekspor sebesar 5% pada periode 17 Juli sampai dengan 31 Desember dan akan meningkat menjadi 7,5% pada periode 17 Juli hingga 31 Desember. Periode ini dari 1 Januari hingga 31 Mei 2024.
Tahapan pembangunan fisik dituangkan dalam rekomendasi ekspor yang dibuat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Namun, jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, PTFI seharusnya dibebaskan dari pajak ekspor jika proyek pembangunan pabrik metalurgi melebihi 50%. Hal ini sejalan dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diterbitkan Pemerintah untuk PTFI dengan mengacu pada PMK 164 Tahun 2018.
Berikut syaratnya:
– Tahap I pada kemajuan pengembangan fasilitas hingga 30% dari total volume konstruksi, perusahaan akan dikenakan pajak ekspor 5%.
– Tahap II, dalam hal kemajuan pekerjaan mekanik mencapai lebih dari 30% sampai dengan 50% dari total volume pekerjaan, dikenakan pajak ekspor sebesar 2,5%.
– Tahap III, dalam hal progres penyelesaian bagian kasar melebihi 50% dari total volume konstruksi, akan dikenakan pajak ekspor 0%.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Muhammad Wafid mengatakan Freeport harus mematuhi aturan baru PMK 71/2023.
“Ya regulasinya,” jawab Wafid saat ditanya apakah aturan IUPK Freeport sudah tidak berlaku, saat rapat di gedung Departemen ESDM, dikutip Selasa (8/8/2023).
Wafid menegaskan pada Sri Mulyani, Freeport tunduk pada PMK baru yang mengatur para penambang baru saja melonggarkan izin ekspor mineralnya selama satu tahun dari 11 Juni 2023 hingga 31 Mei 2024.
+ There are no comments
Add yours