Sistem yang diterapkan perpajakan dibangun oleh Departemen Jenderal Pajak (DJP) tentu dapat memuat data perbankan wajib pajak. Sistem baru ini pasti akan mulai bekerja pada 1 Mei 2024.
Ahli dari kantor Menteri Keuangan yang membidangi regulasi pajak dan penegakan hukum, Iwan Djuniardi mengungkapkan, selama ini DJP bisa mengakses beberapa data perbankan dan beberapa data lainnya. Di masa mendatang, data yang relevan ini harus dikaitkan dengan sistem pajak yang mendasarinya.
Namun, Iwan menegaskan, data yang ditautkan tersebut tidak termasuk data transaksi individual. Data tersebut adalah data pajak dan data untuk kepentingan penegakan hukum. Misalnya, tanda terima bank untuk pajak atas deposito atau saldo akhir tahun.
“Selama ini dirahasiakan, diputus. Sekarang sedang kita susun. Kemudian dokumen debet bank, misalnya PPh pasal 4 ayat 2. Sejauh ini admin bank telah dipotong. Sampai sekarang masih bingung,” jelas Iwan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, dikutip Selasa (8/8/2023).
Iwan menegaskan tidak ada data transaksi. Data transaksi hanya diperlukan jika ada investigasi kriminal. “Data tahan potong, bukan data transaksional.”
Ia pun memastikan kerahasiaan perbankan akan tetap terjaga. “Jangan khawatir dengan perlindungan data pribadi, meski mungkin kena pajak, kami tetap menghormati hak wajib pajak,” kata Iwan.
Bukti laporan setoran dan tabungan ini akan digunakan untuk mengisi data SPT atau SPT yang datanya telah disampaikan secara langsung. Iwan menjamin pajak tidak akan melihat transaksi wajib pajak. Hal itu, kata dia, dilakukan untuk memudahkan wajib pajak.
Memang, sistem perpajakan dimulai dengan penyampaian SPT tahun 2024, data bukti pemotongan akan dirilis sebelum pengisian. Dengan demikian, wajib pajak hanya perlu mengklaim SPT-nya.
Wajib pajak tidak lagi membuang waktu menghitung dan memasukkan setiap SPT. Semuanya tersedia di sistem perpajakan dasar DJP.
Dalam sistem perpajakan yang kompleks ini, Iwan mengatakan ada tiga jenis data. Pertama, validasi data secara real-time. Data ini termasuk data KSWP atau Konfirmasi Status Wajib Pajak.
Kedua adalah data bukti potong. “Data ini tidak real time, tetapi berkala. Tidak selalu real time. Contohnya data PEB bea cukai, data perbankan, bukti potong, data dari pemberi kerja. Itu yang prepopulated,” tegasnya. Data prepopulated ini yang akan ditarik otomatis dan dimasukkan ke dalam SPT Tahunan.
Kemudian, terakhir data pihak ketiga. Data ini dimuat dalam rangka untuk menguji kebenaran data SPT. Jika Anda beli mobil atau motor, Iwan memastikan hal ini masuk ke data pihak ketiga.
“Kan belum tentu tidak bayar pajak. Duitnya bisa saja dari warisan, dari tabungan. Tapi nanti diuji oleh sistem perpajakan,” kata Iwan lagi.
Uji kebenaran ini mudah. Caranya, penghasilan serta investasi wajib pajak ditambah utang wajib pajak. Jumlah ini harus sama dengan pengeluaran atau pengeluaran wajib pajak ditambah dengan pertambahan harta. Jika tidak, sistem perpajakan akan mendeteksi adanya anomali.
+ There are no comments
Add yours